Warisan Pusaka Kerajaan Di Musium Lagaligo
Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, Kerajaan Luwu,
Kerajaan Wajo, Kerajaan Soppeng ada sebagian kerajaan-kerajaan besar yang
mempunyai warisan pusaka yang tak ternilai Harganya. dalam sebuah musium tua
disebuah sudut Makassar yakni Di Dalam Benteng
Rotherdam sebuah gedung yang sederhana dengan Title papan nama yang masih
terlihat kokoh yakni Musium Lagaligo. yang dimana menyimpan kekayaan-kekayaan
budaya masyarakat bugis makassar klasik. akan tetapi musium ini sangat lah sepi
akan pengunjung yang ingin mengetahui warisan budaya bugis makassar. Apa saja
yang ada didalam musium ?. Pusaka Kerajaan Gowa, Pusaka Kerjaan Bone, Pusaka
Kerajaan Luwu, Kitab Lontara, Kitab La Galigo, Perlengkapan Kerjaaan-kerajaan
di sulawesi selatan. Dan Masih banyak Lagi yang menyangkut kebudayaan klasik
bugis makassar. ingin melihatnya dengan Gambar
Sureq Galigo
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Epik ini dalam masyarakat Bugis berkembang
sebagian besar melalui
tradisi lisan dan masih dinyanyikan pada
kesempatan-kesempatan tradisional Bugis penting. Versi tertulis hikayat ini
yang paling awal diawetkan pada
abad ke-18,
di mana versi-versi yang sebelumnya telah hilang akibat
serangga,
iklim atau
perusakan.
[1]
Akibatnya, tidak ada versi
Galigo yang pasti atau lengkap, namun
bagian-bagian yang telah diawetkan berjumlah 6.000
halaman atau
300.000 baris
teks,
membuatnya menjadi salah satu karya
sastra terbesar.
[3]
Latar belakang dan usaha pelestarian
Ada dugaan pula
bahwa epik ini mungkin lebih tua dan ditulis sebelum epik
Mahabharata
dari
India. Isinya
sebagian terbesar berbentuk puisi yang ditulis dalam
bahasa
Bugis kuno. Epik ini mengisahkan tentang
Sawerigading,
seorang pahlawan yang gagah berani dan juga perantau.
La Galigo bukanlah teks
sejarah karena
isinya penuh dengan
mitos
dan peristiwa-peristiwa luar biasa. Namun demikian, epik ini tetap memberikan
gambaran kepada
sejarawan mengenai kebudayaan
Bugis sebelum
abad ke-14.
Hikayat La Galigo telah menjadi dikenal di khalayak internasional secara
luas setelah diadaptasi dalam
pertunjukan teater I La Galigo
oleh
Robert Wilson,
sutradara
asal
Amerika Serikat, yang mulai dipertunjukkan secara
internasional sejak tahun
2004.
Isi hikayat La Galigo
Epik ini dimulai dengan
penciptaan dunia. Ketika
dunia ini kosong (merujuk kepada
Sulawesi
Selatan), Raja Di Langit, La Patiganna, mengadakan suatu musyawarah
keluarga dari beberapa kerajaan termasuk Senrijawa dan Peretiwi dari alam gaib
dan membuat keputusan untuk melantik anak lelakinya yang tertua, La Toge'
langi' menjadi Raja Alekawa (Bumi) dan memakai gelar Batara Guru. La Toge'
langi' kemudian menikah dengan sepupunya We Nyili'timo', anak dari Guru ri
Selleng, Raja alam gaib. Tetapi sebelum Batara Guru dinobatkan sebagai raja di
bumi, ia harus melalui suatu masa ujian selama 40 hari, 40 malam. Tidak lama
sesudah itu ia turun ke bumi, yaitu di Ussu', sebuah daerah di Luwu', sekarang
wilaya
Luwu
Timur dan terletak di
Teluk Bone.
Batara Guru kemudian digantikan oleh anaknya, La
Tiuleng yang memakai gelar Batara Lattu'. Ia kemudian mendapatkan dua orang
anak kembar yaitu Lawe atau La Ma'dukelleng atau Sawerigading (Putera Ware')
dan seorang anak perempuan bernama We Tenriyabeng. Kedua anak kembar itu tidak
dibesarkan bersama-sama. Sawerigading ingin menikahi We Tenriyabeng karena ia
tidak tahu bahwa ia masih mempunyai hubungan darah dengannya. Ketika ia
mengetahui hal itu, ia pun meninggalkan Luwu' dan bersumpah tidak akan kembali
lagi. Dalam perjalannya ke Kerajaan
Tiongkok, ia mengalahkan beberapa pahlawan
termasuklah pemerintah Jawa Wolio yaitu Setia Bonga. Sesampainya di Tiongkok, ia
menikah dengan putri Tiongkok, yaitu
We Cudai.
Sawerigading
digambarkan sebagai seorang kapten kapal yang perkasa dan tempat-tempat yang
dikunjunginya antara lain adalah Taranate (
Ternate di
Maluku), Gima
(diduga
Bima atau
Sumbawa), Jawa
Rilau' dan Jawa Ritengnga,
Jawa Timur dan Tengah), Sunra Rilau' dan Sunra Riaja
(kemungkinan
Sunda
Timur dan
Sunda
Barat) dan
Melaka.
Ia juga dikisahkan melawat surga dan alam gaib. Pengikut-pengikut Sawerigading
terdiri dari saudara-maranya dari pelbagai rantau dan rombongannya selalu
didahului oleh kehadiran tamu-tamu yang aneh-aneh seperti orang bunian, orang
berkulit hitam dan orang yang dadanya berbulu.
Sawerigading
adalah ayah
I La Galigo (yang bergelar Datunna Kelling). I La Galigo,
juga seperti ayahnya, adalah seorang kapten kapal, seorang perantau, pahlawan
mahir dan perwira yang tiada bandingnya. Ia mempunyai empat orang istri yang
berasal dari pelbagai negeri. Seperti ayahnya pula, I La Galigo tidak pernah
menjadi raja.
Anak lelaki I La Galigo yaitu La Tenritatta'
adalah yang terakhir di dalam epik itu yang dinobatkan di Luwu'.
Isi epik ini merujuk ke masa ketika orang
Bugis bermukim di
pesisir pantai
Sulawesi.
Hal ini dibuktikan dengan bentuk setiap kerajaan ketika itu. Pemukiman awal
ketika itu berpusat di muara sungai dimana kapal-kapal besar boleh melabuh dan
pusat pemerintah terletak berdekatan dengan muara. Pusat pemerintahannya
terdiri dari istana dan rumah-rumah para bangsawan. Berdekatan dengan istana
terdapat Rumah Dewan (
Baruga) yang berfungsi sebagai tempat
bermusyawarah dan tempat menyambut pedagang-pedagang asing. Kehadiran
pedagang-pedagang asing sangat disambut di kerajaan
Bugis ketika itu.
Setelah membayar cukai, barulah pedagang-pedagang asing itu boleh berniaga.
Pemerintah selalu berhak berdagang dengan mereka menggunakan sistem
barter, diikuti
golongan bangsawan dan kemudian rakyat jelata. Hubungan antara kerajaan adalah
melalui jalan laut dan golongan muda bangsawan selalu dianjurkan untuk merantau
sejauh yang mungkin sebelum mereka diberikan tanggung jawab. Sawerigading
digambarkan sebagai model mereka.
Sawerigading
dan anaknya
I La Galigo bersama dengan anjing peliharaanya, Buri,
pernah merantau mengunjungi lembah
Palu yang terletak di pantai barat
Sulawesi. Buri,
yang digambarkan sebagai seekor binatang yang garang, dikatakan berhasil
membuat mundur laut ketika I La Galigo bertengkar dengan Nili Nayo, seorang
Ratu Sigi. Akhirnya, lautan berdekatan dengan
Loli di
Teluk Palu menjadi sebuah danau
iaitu Tasi' Buri' (Tasik Buri).
Berdekatan dengan
Donggala pula,
terdapat suatu kisah mengenai
Sawerigading.
Bunga Manila, seorang ratu
Makubakulu mengajak
Sawerigading
bertarung ayam. Akan tetapi, ayam
Sawerigading
kalah dan ini menyebabkan tercetusnya peperangan.
Bunga Manila kemudian meminta
pertolongan kakaknya yang berada di Luwu'. Sesampainya tentara Luwu', kakak
Bunga Manila mengumumkan bahwa
Bunga Manila dan S
awerigading adalah bersaudara
dan hal ini mengakhiri peperangan antara mereka berdua. Betapapun juga,
Bunga Manila masih menaruh
dendam dan karena itu ia menyuruh anjingnya, Buri (anjing hitam), untuk
mengikuti Sawerigading. Anjing itu menyalak tanpa henti dan ini menyebabkan
semua tempat mereka kunjungi menjadi daratan.
Kisah lain yang terdapat di
Donggala ialah
tentang
I
La Galigo yang terlibat dalam adu ayam dengan orang
Tawali. Di
Biromaru, ia
mengadu ayam dengan Ngginaye atau Nili Nayo. Ayam Nili Nayo dinamakan Calabae
sementara lawannya adalah Baka Cimpolo. Ayam
I La Galigo
kalah dalam pertarungan itu. Kemudian I La Galigo meminta pertolongan dari
ayahnya, Sawerigading. Sesampainya
Sawerigading, ia
mendapati bahwa Nili Nayo adalah bersaudara dengan
I La Galigo,
karena Raja Sigi dan Ganti adalah sekeluarga.
Ratu
Wolio pertama di
Butung (
Butuni atau
Buton) di gelar
Wakaka, dimana mengikut lagenda muncul dari buluh (bambu gading). Terdapat juga
kisah lain yang menceritakan bahwa Ratu
Wolio adalah
bersaudara dengan Sawerigading. Satu lagi kisah yang berbeda yaitu Sawerigading
sering ke
Wolio
melawat Wakaka. Ia tiba dengan kapalnya yang digelar
Halmahera
dan berlabuh di
Teluk Malaoge di
Lasalimu.
Di
Pulau Muna
yang berdekatan, pemerintahnya mengaku bahwa ia adalah keturunan Sawerigading
atau kembarnya We Tenriyabeng. Pemerintah pertama Muna yaitu Belamo Netombule
juga dikenali sebagai Zulzaman adalah keturunan Sawerigading. Terdapat juga
kisah lain yang mengatakan bahwa pemerintah pertama berasal dari
Jawa, kemungkinan dari
Majapahit.
Permaisurinya bernama Tendiabe. Nama ini mirip dengan nama We Tenyirabeng, nama
yang di dalam kisah La Galigo, yang menikah dengan Remmangrilangi', artinya,
'Yang tinggal di surga'. Ada
kemungkinan Tendiabe adalah keturunan We Tenyirabeng. Pemerintah kedua, entah
anak kepada Belamo Netombule atau Tendiabe atau kedua-duanya, bernama La Patola
Kagua Bangkeno Fotu.
Sementara nama-nama bagi pemerintah awal di
Sulawesi
Tenggara adalah mirip dengan nama-nama di
Tompoktikka, seperti yang
tercatat di dalam La Galigo. Contohnya Baubesi (La Galigo: Urempessi). Antara
lainnya ialah Satia Bonga, pemerintah
Wolio(La Galigo:
Setia Bonga).
Legenda Sawerigading dan kembarnya, Rawe, adalah
berkait rapat dengan pembangunan beberapa negeri di kawasan ini. Mengikut
legenda dari kawasan ini, Sarigade, putera Raja Luwu' dari negeri
Bugis melawat
kembarnya yang telah hidup berasingan dengan orangtuanya. Sarigade datang dengan
beberapa armada dan melabuh di Tanjung Bayolamilate yang terletak di negeri
Padengo. Sarigade mendapat tahu bahwa kembarnya telah menikah dengan raja
negeri itu yaitu Hulontalangi. Karena itu bersama-sama dengan kakak iparnya, ia
setuju untuk menyerang beberapa negeri sekitar
Teluk
Tomini dan membagi-bagikan kawasan-kawasan itu. Serigade memimpin pasukan
ber
keris sementara
Hulontalangi memimpin pasukan yang menggunakan
kelewang.
Setelah itu, Sarigade berangkat ke
Tiongkok untuk
mencari seorang gadis yang cantik dikatakan mirip dengan saudara kembarnya.
Setelah berjumpa, ia langsung menikahinya.
Terdapat juga kisah lain yang menceritakan
tentang pertemuan Sawerigading dengan Rawe. Suatu hari, Raja Matoladula melihat
seorang gadis asing di rumah Wadibuhu, pemerintah Padengo. Matoladula kemudian
menikahi gadis itu dan akhirnya menyadari bahwa gadis itu adalah Rawe dari
kerajaan Bugis Luwu'. Rawe kemudiannya menggelar
Matoladula dengan gelar
Lasandenpapang.
Pada
abad ke-15,
Melaka di bawah
pemerintahan
Sultan Mansur Syah
diserang oleh 'Keraing Semerluki' dari
Makassar.
Semerluki yang disebut ini berkemungkinan adalah Karaeng Tunilabu ri Suriwa,
putera pertama kerajaan Tallo', dimana nama sebenarnya ialah Sumange'rukka' dan
beliau berniat untuk menyerang
Melaka,
Banda dan
Manggarai.
Perhubungan yang jelas muncul selepas abad ke-15.
Pada tahun 1667,
Belanda
memaksa pemerintah
Goa
untuk mengaku kalah dengan menandatangani
Perjanjian Bungaya. Dalam perjuangan ini,Goa dibantu oleh Arung Matoa dari Wajo'. Pada tahun
berikutnya, kubu Tosora dimusnahkan oleh
Belanda dan
sekutunya
La Tenritta' Arung Palakka dari Bone. Hal ini
menyebabkan banyak orang
Bugis dan
Makassar bermigrasi ke tempat lain. Contohnya, serombongan
orang
Bugis tiba
di
Selangor
di bawah pimpinan Daeng Lakani. Pada tahun 1681, sebanyak 150 orang
Bugis menetap di
Kedah. Manakala
sekitar abad ke-18, Daeng Matokko' dari Peneki, sebuah daerah di Wajo', menetap
di
Johor. Sekitar
1714 dan 1716, adiknya, La Ma'dukelleng, juga ke
Johor. La
Ma'dukelleng juga diberi gelar sebagai
pemimpin
bajak laut oleh
Belanda.
Keturunan Opu Tenriburong memainkan peranan
penting dimana mereka bermukim di
Kuala
Selangor dan
Klang
keturunan ini juga turut dinobatkan sebagai Sultan Selangor dan Sultan Johor.
Malahan, kelima-lima anak Opu Tenriburong memainkan peranan yang penting dalam
sejarah di kawasan ini.
Daeng Merewah menjadi Yang
Dipertuan
Riau,
Daeng Parani menikah dengan puteri-puteri
Johor,
Kedah dan
Selangor dan
juga ayanhanda kepada Opu Daeng Kamboja (Yang Dipertuan Riau ketiga),
Opu Daeng Manambung
(menjadi Sultan Mempawah dan Matan),
Opu Daeng Cella' (menikah
dengan Sultan Sambas dan keturunannya menjadi raja di sana).
Pada
abad ke-19,
sebuah teks
Melayu
yaitu
Tuhfat al-Nafis mengandung cerita-cerita seperti di
dalam La Galigo. Walaubagaimanapun, terdapat perubahan-perubahan dalam
Tuhfat
al-Nafis seperti permulaan cerita adalah berasal dari
Puteri Balkis,
Permaisuri Sheba dan
tiada cerita mengenai turunnya keturunan dari langit seperti yang terdapat di
dalm La Galigo. Anak perempuannya, Sitti Mallangke', menjadi Ratu Selangi,
sempena nama purba bagi pulau
Sulawesi dan menikah dengan Datu Luwu'. Kisah ini tidak
terdapat dalam La Galigo. Namun demikian, anaknya, yaitu Datu Palinge'
kemungkinan adalah orang yang sama dengan tokoh di dalam La Galigo.
La Galigo dalam seni pentas
Dalam bagian-bagian dari cerita yang dikisahkan,
para aktor tidak saling berbicara tapi mengekspresikan diri mereka melalui tari
dan gerak tubuh. Bagian cerita dinarasi oleh seorang
narator dalam versi bahasa Bugis
aslinya. Pertunjukan sepanjang tiga jam ini disertai dengan penggunaan
ekstensif
efek cahaya untuk
karakteristik pekerjaan Wilson
dan disertai pula oleh musik oleh
ansambel panggung.
[2]
Pertunjukan ini menggunakan musik tradisional
Sulawesi, namun
sebenarnya telah disusun dan diproduksi oleh
komponis Jawa Rahayu
Supanggah setelah riset yang intensif di
Sulawesi
Selatan.
[3][4]